Guru, elemen yang terlupakan
Pendidikan Indonesia selalu
gembar-gembor tentang kurikulum baru...yang katanya lebih oke lah, lebih
tepat sasaran, lebih kebarat-baratan...atau apapun. Yang jelas, menteri
pendidikan berusaha eksis dengan mengujicobakan formula pendidikan baru
dengan mengubah kurikulum.
Di balik perubahan kurikulum yang terus-menerus, yang kadang kita gak ngeh apa maksudnya, ada elemen yang benar-benar terlupakan...Yaitu guru! Ya, guru di Indonesia hanya 60% yang layak mengajar...sisanya, masih perlu pembenahan. Kenapa hal itu terjadi? Tak lain tak bukan karena kurang pelatihan skill, kurangnya pembinaan terhadap kurikulum baru, dan kurangnya gaji. Masih banyak guru honorer yang kembang kempis ngurusin asap dapur rumahnya agar terus menyala.
Guru, digugu dan ditiru....Masihkah? atau hanya slogan klise yang sudah kuno. Murid saja sedikit yang menghargai gurunya...sedemikian juga pemerintah. banyak yang memandang rendah terhadap guru, sehingga orang pun tidak termotivasi menjadi guru. Padahal, tanpa sosok Oemar Bakri ini, tak bakal ada yang namanya Habibi.
Di balik perubahan kurikulum yang terus-menerus, yang kadang kita gak ngeh apa maksudnya, ada elemen yang benar-benar terlupakan...Yaitu guru! Ya, guru di Indonesia hanya 60% yang layak mengajar...sisanya, masih perlu pembenahan. Kenapa hal itu terjadi? Tak lain tak bukan karena kurang pelatihan skill, kurangnya pembinaan terhadap kurikulum baru, dan kurangnya gaji. Masih banyak guru honorer yang kembang kempis ngurusin asap dapur rumahnya agar terus menyala.
Guru, digugu dan ditiru....Masihkah? atau hanya slogan klise yang sudah kuno. Murid saja sedikit yang menghargai gurunya...sedemikian juga pemerintah. banyak yang memandang rendah terhadap guru, sehingga orang pun tidak termotivasi menjadi guru. Padahal, tanpa sosok Oemar Bakri ini, tak bakal ada yang namanya Habibi.
Thursday, August 25, 2005
Gelar....Mabuknya Pendidikan
Sekali lagi, Indonesia dihadapkan
pada kasus yang mencoreng nama pendidikan. Kasus jual beli gelar yang
dipraktekkan oleh IMGI. Cara memperoleh gelar ini sangatlah mudah, Anda
tinggal menyetor 10-25 juta, dan Anda dapat gelar yang Anda
inginkan..Tinggal pilih...apakah S1, S2, atau S3....benar-benar edan!
Sebagian orang mabuk kepayang akan nilai gelar yang memabukkan. Dan
tidak tanggung-tanggung yang pernah membeli gelar dari IMGI
ini...sekitar 5000 orang.
Ini adalah protet buram masyarakat Indonesia yang memuja gelar melampaui batas. Dengan titel, seakan-akan masa depan lebih mudah. Padahal, nasib ditentukan oleh kerja keras...dan sebagian masyarakat Indonesia mencari jalan pintas. Tak heran, jika kasus wakil rakyat yang melakukan jual beli gelar agar kelihatan mentereng menyeruak di mana-mana. Dan dengan kepala kosong, mereka mencoba mengkonsepsikan pemerintahan Indonesia. Apa yang terjadi? Undang-undang sekedar lobi-lobi politik dimana semuanya UUD (ujung-ujungnya duit).
Tidakkah kita semua miris lihat kenyataan ini? Lalu apa gunanya gelar kalau ternyata dia hanya kedok belaka?
Ini adalah protet buram masyarakat Indonesia yang memuja gelar melampaui batas. Dengan titel, seakan-akan masa depan lebih mudah. Padahal, nasib ditentukan oleh kerja keras...dan sebagian masyarakat Indonesia mencari jalan pintas. Tak heran, jika kasus wakil rakyat yang melakukan jual beli gelar agar kelihatan mentereng menyeruak di mana-mana. Dan dengan kepala kosong, mereka mencoba mengkonsepsikan pemerintahan Indonesia. Apa yang terjadi? Undang-undang sekedar lobi-lobi politik dimana semuanya UUD (ujung-ujungnya duit).
Tidakkah kita semua miris lihat kenyataan ini? Lalu apa gunanya gelar kalau ternyata dia hanya kedok belaka?
Tuesday, April 19, 2005
Hakikat Pendidikan
Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?
Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.
Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.
Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan kata mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.
(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.
(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.
(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.
inilah sekelumit tulisan yang saya jadikan pokok pemikiran buat apa itu hakikat pendidikan sebenarnya.
Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.
Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.
Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan kata mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.
(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.
(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.
(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.
inilah sekelumit tulisan yang saya jadikan pokok pemikiran buat apa itu hakikat pendidikan sebenarnya.
Sekolah Global di Desa Kecil Kalibening
FINA Af'idatussofa (14) bukan siswa sekolah internasional dan bukan anak orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa Kalibening, tiga kilometer perjalanan arah selatan dari kota Salatiga menuju Kedungombo, Jawa Tengah. Karena orangtuanya tidak mampu, ia terpaksa melanjutkan sekolah di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di desanya. Namun, dalam soal kemampuan Fina boleh dipertandingkan dengan siswa sekolah-sekolah mahal yang kini menjamur di Jakarta.MESKI bersekolah di desa dan menumpang di rumah kepala sekolahnya, bagi Fina internet bukan hal yang asing. Ia bisa mengakses internet kapan saja. Setiap pagi berlatih bahasa Inggris dalam English Morning. Ia pernah menjuarai penulisan artikel on line di kotanya. Ia juga berbakat dalam olah vokal meski ia mengatakan tidak ingin menjadi seorang penyanyi.
"Kalau menjadi penyanyi, pekerjaanku hanya menyanyi. Padahal, cita-citaku banyak. Aku ingin jadi presenter, aku ingin jadi penulis, pengarang lagu, ilmuwan, dan banyak lagi? Aku juga ingin berkeliling dunia," kata Fina.
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka, sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah untuk menampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan tahun. Namun, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat mencintai dan bangga dengan sekolahnya.
Pukul 06.00 sekolah sudah mulai dan baru berakhir pada pukul 13.30. Akan tetapi, jam sekolah itu terasa sangat pendek bagi murid-murid sekolah tersebut sehingga setelah makan siang mereka biasanya kembali lagi ke sekolah. Mereka belajar sambil bermain di sekolahnya sampai malam, bahkan tak jarang mereka menginap di sekolah.
Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat menikmati sekolahnya. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, tetapi teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa yang hanya pantas untuk berbicara informal dengan kawan akrab.
Di kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan soal-soal matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal sambil bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu bahkan di taman kanak-kanak pun kini makin langka karena mereka dipaksa oleh gurunya untuk membaca dan menulis.
SMP Qaryah Thayyibah lahir dari keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah Air yang makin bobrok dan semakin mahal. Pada pertengahan tahun 2003 anak pertamanya, Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy telah mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun, Bahruddin terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk SMP negeri yang saat itu telah mencapai Rp 750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan, belum lagi uang seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah.
"Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan orang-orang lain?" tuturnya. Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuat sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan Hilmy ke sekolah yang diangan-angankannya.
"Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting mereka bisa bersekolah," kata Bahruddin.
Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.
Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan institut agama Islam negeri dan sebagian besar di antaranya para aktivis petani.
Guru pelajaran Matematika-nya seorang lulusan SMA yang kini mondok di pesantren. Akses internet gratis 24 jam diperoleh dari seorang pengusaha internet di Salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin. Dengan modal seadanya sekolah itu berjalan.
Ternyata pengakuan terhadap keberadaan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid SMP Qaryah Thayyibah jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah induknya, terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.
Sekolah itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga. Sekolah itu juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri di tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa Qaryah Thayyibah mencapai 8,86.
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga maju dalam berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Kebolehan anak-anak itu dalam menyanyikan lagu mars dan himne sekolah dalam versi bahasa Inggris dan Indonesia bisa didengarkan ketika membuka alamat situs sekolah www.pendidikansalatiga.net/qaryah. Grup musik anak-anak desa kecil itu telah mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus untuk pencarian dana. Seluruh siswa bisa bermain gitar, yang menjadi keterampilan wajib di sekolah itu.
Sulit dibayangkan anak- anak petani sederhana itu masing-masing memiliki sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran Bahasa Inggris BBC di rumahnya. Semua itu tidak digratiskan. Anak-anak memiliki semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama sebesar Rp 3.000 yang diterima anak dari orangtuanya setiap hari. Uang sebesar Rp 1.000 dipergunakan untuk mengangsur pembelian komputer. Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan makanan kecil tiap hari Rp 1.000, sedangkan Rp 1.000 lainnya untuk ditabung di sekolah. Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan murid dalam bentuk gitar, kamus, dan lain-lainnya.
Tidak mengherankan jika anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan sekolah itu. Betapa tidak, di sekolah yang berdekatan dengan rumah di sebuah desa kecil mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang.
Ismanto (43) menceritakan, anaknya sempat down saat mendaftar SLTP di Salatiga dua tahun lalu. Uang masuknya Rp 200.000, belum termasuk buku dan seragam. Tidak ada seorang murid pun ke sekolah dengan berjalan kaki selain anaknya, Emi Zubaiti (13). Kini Emi menjadi seorang anak yang pandai dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan percaya diri. Ia tidak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi, anak pasangan tukang reparasi sofa dan bakul jamu gendong, mendapat sekolah yang baik.
Bahkan Ismanto ikut menikmati komputer yang dikredit dari uang saku anaknya. Dibimbing anaknya, sekarang Ismanto mulai belajar komputer. "Tidak pernah terpikir, saya bisa membelikan komputer. Kini saya malah bisa ikut menikmati," kata Ismanto"
sumber:http://pendidikanindonesia.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar